Local Wisdom Vs Miss World 2013
(Menyoal potret feminisme Indonesia
dalam Ajang Miss World 2013 di Bali)
Ajang Miss World 2013 yang dihelat sejak tanggal 3 September dan berakhir pada puncak acara tanggal
28 September 2013 di Nusa Dua, Bali, ini merupakan salah satu wadah bagi perempuan untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai seorang individu yang memiliki kapasitas
yang bisa dikatakan tidak kalah dengan laki-laki merupakan suatu wujud semangat
feminism yang masih eksis di tingkat internasional. Tentunya symbol-simbol
keperempuanan akan dijaga dan dikembangkan dalam ajang ini seperti crown bagi Miss World yan terpilih, gown yang merupakan busana yang identik
dengan keanggunan dan kecantikan perempuan.
Perempuan-perempuan yang dianggap tercantik dari seluruh
dunia berkumpul dalam satu ajang bergengsi
dunia, Miss World 2013. Mereka merupakan symbol feminism versi modern
yang katanya mengedepankan hati, pikiran dan tubuh yang bertujuan (beauty on purpose). Bagaimanakah
Indonesia yang berbalut pemikiran patriarkal menyambut konsep feminism dalam
wajah Miss World?
Sebelum
beranjak ke Miss World 2013, perlunya menengok pada negeri sendiri. Kita
memiliki local wisdom atau kearifan
lokal yang tidak bisa diabaikan. Local
wisdom merupakan nilai-nilai atau jejak-jejak leluhur yang memiliki
nilai-nilai dalam membentuk kepribadian sebuah bangsa. Nilai-nilai yang arusnya
tetap dijaga untuk meng-counter
apa-apa yang masuk ke negeri sendiri agar tidak merasa asing di rumah sendiri
seperti yang terjadi saat ini. Banyak para generasi muda yang tidak mengenal
negerinya sendiri kecuali kebobrokan
negeri yang membuat lelah padahal jika mau sedikit saja melirik local wisdom yang sudah ada, bisa jadi
solusi sudah di depan mata. Mereka menganggap local wisdom sudah tidak sesuai dengan zeigeis karena sudah tidak memiliki nilai yang sudah tidak relevan
dengan perkembangan jaman, salah satunya adalah semangat feminisme yang kini
digandrungi oleh para perempuan yang terwujud dalam Ajang kontes kecantikan dunia,
Miss World.
Tentunya
untuk membuktikan apakah local wisdom
relevan atau tidak relevan, penting untuk mengenal local wisdom apa saja yang berkaitan dengan isu ini. Salah satunya
dengan mengenal simbol-simbol budaya sebagai warisan bangsa.
Simbol feminism dalam sistem patriakal Indonesia
Kalau
mau diruntut ke belakang, sebenarnnya tidak sepenuhnya Indonesia menganut
system patriarkal yang dianggap para feminis sebagai system yang merugikan para
perempuan. Matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur
kehidupan suatu masyarakat yang terikat dalam jalinan kekerabatan garis ibu. Dengan kata lain, seorang anak laki-laki atau perempuan dianggap bagian dari garis keturunan seorang ibu. Itu berarti Ibu memiliki peran sebagai kepala keluarga yang mengatur bukan oleh
seorang laki-laki seperti yang ada dalam sistem Patriarkal.
Salah satu suku yang masih
menggunakan sistem
Matrilineal hingga saat ini adalah suku Minangkabau meskipun tentunya
mengalami beberapa adaptasi mengikuti semangat jaman (zeitgeis). Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal
mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut; (1). Keturunan
dihitung menurut garis ibu. (2). Suku terbentuk menurut garis ibu. (3). Tiap
orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami). (4). Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi
seluruh suku. 5. Ibu memiliki kekuasaan
lebih besar dalam suku ketimbang seorang Bapak. (6). Perkawinan bersifat matrilokal,
yaitu ditandai dengan suami mengunjungi rumah istrinya. (7). Hak-hak dan pusaka
diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada
anak dari saudara perempuan.
Dari
cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa perempuan dalam sistem Matriineal
mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menunjukkan pendapatnya, menentukan
keputusan dan pastinya adalah eksistensinya sebagai seorang individu perempuan
bukan sebagai bagian dari kelaki-lakian seperti dalam patriarkhi
Local Wisdom
dalam Ajang Miss World 2013
Generasi kreatif Indonesia tidak tutup mata dengan
symbol-simbol itu. Terbukti dengan dimuculkannya symbol-simbol feminitas dalam
bentuk kearifan local Indonesia dalam Pemilihan Miss World 2013. Dalam opening
final yang dihelat Sabtu malam, 28 september 2013 di Nusa Dua, Bali, Tari Api
Sinta membakar perhatian para penonton. Dalam tarian yang dicitakan oleh Ibu
Liliana Tanoyo Soedibyo ini, tiga simbol perempuan yang cukup kuat dimunculkan.
Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, Srikandhi dan Sinta lambang kesetiaan. Ketiga
dewi ini merupakan mitos yang ada dalam kebudayaan tua di Indonesia jauh
sebelum sistem Matrilineal di daerah Sumatra mengakar.
Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri
(Bahasa Sunda) adalah dewi padi dan sawah dewi pembawa rejeki serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan pada Dewi Sri ini sudah berlangsung sejak masa pra-Hindu
dan pra-Islam di pulau Jawa. Dewi Sri ini bisa
dikatakan sebagai salah satu Mother earth
nusantara seperti yang dikatakan dalam narasi tarian Api Sinta ini. Sedangkan
Srikandhi merupakan salah satu karakter perempuan dalam pewayangan Jawa. Dalam pewayangan Jawa dikisahkan Dewi Srikandi memiliki kegemarana dalam bidang olah keprajuritan yang idtandai dengan kemampuannya yang mahir dalam
menggunakan panah.
Dewi Srikandi menjadi suri teladan prajurit wanita. Ia memiliki peran yang besar dalam keselamatan dan keamanan
kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam
salah satu kisahnya, Dewi Srikandi tampil dalam perang Bharatayuddha, sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, salah satu ksatria yang kemudian gugur dalam perang tersebut. Dalam kisah ini,
Bisma mampu dikalahkan dengan panah Hrusangkali
milik Dewi
Srikandi. Karakter Dewi ketiga yang dimunculkan dalam tarian ini adalah Dewi
Sinta, yang menjadi judul tarian. Dewi Sinta merupakan istri dari Rama dalam kisah Ramayana. Dalam kisah Ramayana yang
hingga kini masih dilestarikan di prambanan dengan pementasan sendra tari,
Sinta digambarkan
sebagai istri setia Rama yang kemudian menjadi simbol keperempuanan.
Tidak berhenti di tarian saja, simbol feminisitas yang
dihadirkan dengan menggunakan kearifan lokal adalah singgasana Miss
World 2013 yang terbuat dari ukiran kayujati dengan berata 60 kg dan tinggi
1,60 meter. Seperti yang dilansir
Okezone kepada AA. Gede Adi Semara, pengrajin di Bali, Singgasana ini tidak
dibuat sembarangan asal cantik saja tetapi memeiliki simbol dan makna-makna
tertentu. Tentu saja lagi-lagi simbol-simbol tersebut tidak jauh-jauh dari
feminitas seperti ukiran-ukiran yang dibuat terdiri dari simbol bunga,rantai,
dan angsa. Bunga tentu saja simbol keperempuanan yang sering digunakan untuk
menunjukkan kecantikan perempuan. Rantai bias dikatakan pengait sehingga
apa-apa yang dicapai akan berkesinambungan,speerti kemakmuran yang
berkesnambungan. Angsa menurut pengrajinnya merupakan kendaraan Dewi Saraswati
yang merupakan Dewi Ilmu Pengetahuan dalam kepercayaan umat Hindu Di Bali.
pict taken from : encrypted-tbn3.gstatic.com
pict taken from : encrypted-tbn3.gstatic.com
Apakah Indonesia sepenuhnya penganut Patrilineal dan masih
terbelakang dalam semangat jaman yang begitu mengedepankan hak-hak perempuan?
Masihkah pertanyaan itu dipertanyakan setelah simbol-simbol feminitas yang
sudah ada jauh sebelum feminism lahir sudah ada dalam nila-nilai budaya
Indonesia? masihkah kita merasa tertinggal dengan pemikiran-pemikiran negara
maju karena kita masih tertinggal pembangunan ekonominya?
Biarkan pertanyaan-pertanyaan
ini menggema
dalam ruang-ruang pikir yang sudah lama terbalut dalam kemegahan pemikiran
barat yang perlahan namun pasti telah mengikis nilai-nilai budaya negeri yang
jelas lebih tinggi dan lebih tua ada di dunia.
Penulis
adalah aktivis perempuan di Yogyakarta
No comments:
Post a Comment