Tuesday, October 8, 2013

Local Wisdom Vs Miss World 2013


Local Wisdom Vs Miss World 2013
(Menyoal potret feminisme Indonesia dalam Ajang Miss World 2013 di Bali)
Oleh: Prima Kharismanita

pict taken fromi2.cdn.turner.com

Ajang Miss World 2013 yang dihelat sejak tanggal 3 September dan berakhir pada puncak acara tanggal 28 September 2013 di Nusa Dua, Bali, ini merupakan salah satu wadah bagi perempuan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai seorang individu yang memiliki kapasitas yang bisa dikatakan tidak kalah dengan laki-laki merupakan suatu wujud semangat feminism yang masih eksis di tingkat internasional. Tentunya symbol-simbol keperempuanan akan dijaga dan dikembangkan dalam ajang ini seperti crown bagi Miss World yan terpilih, gown yang merupakan busana yang identik dengan keanggunan dan kecantikan perempuan. 
Perempuan-perempuan yang dianggap tercantik dari seluruh dunia berkumpul dalam satu ajang bergengsi  dunia, Miss World 2013. Mereka merupakan symbol feminism versi modern yang katanya mengedepankan hati, pikiran dan tubuh yang bertujuan (beauty on purpose). Bagaimanakah Indonesia yang berbalut pemikiran patriarkal menyambut konsep feminism dalam wajah Miss World?
Sebelum beranjak ke Miss World 2013, perlunya menengok pada negeri sendiri. Kita memiliki local wisdom atau kearifan lokal yang tidak bisa diabaikan. Local wisdom merupakan nilai-nilai atau jejak-jejak leluhur yang memiliki nilai-nilai dalam membentuk kepribadian sebuah bangsa. Nilai-nilai yang arusnya tetap dijaga untuk meng-counter apa-apa yang masuk ke negeri sendiri agar tidak merasa asing di rumah sendiri seperti yang terjadi saat ini. Banyak para generasi muda yang tidak mengenal negerinya sendiri kecuali kebobrokan negeri yang membuat lelah padahal jika mau sedikit saja melirik local wisdom yang sudah ada, bisa jadi solusi sudah di depan mata. Mereka menganggap local wisdom sudah tidak sesuai dengan zeigeis karena sudah tidak memiliki nilai yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman, salah satunya adalah semangat feminisme yang kini digandrungi oleh para perempuan yang terwujud dalam Ajang kontes kecantikan dunia, Miss World. 
Tentunya untuk membuktikan apakah local wisdom relevan atau tidak relevan, penting untuk mengenal local wisdom apa saja yang berkaitan dengan isu ini. Salah satunya dengan mengenal simbol-simbol budaya sebagai warisan bangsa.
Simbol feminism dalam sistem patriakal Indonesia
Kalau mau diruntut ke belakang, sebenarnnya tidak sepenuhnya Indonesia menganut system patriarkal yang dianggap para feminis sebagai system yang merugikan para perempuan. Matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan suatu masyarakat yang terikat dalam jalinan kekerabatan garis ibu. Dengan kata lain, seorang anak laki-laki atau perempuan dianggap bagian dari garis keturunan seorang ibu. Itu berarti Ibu memiliki peran sebagai kepala keluarga yang mengatur bukan oleh seorang laki-laki seperti yang ada dalam sistem Patriarkal. 
Salah satu suku yang masih menggunakan sistem Matrilineal hingga saat ini adalah suku Minangkabau meskipun tentunya mengalami beberapa adaptasi mengikuti semangat jaman (zeitgeis). Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut; (1). Keturunan dihitung menurut garis ibu. (2). Suku terbentuk menurut garis ibu. (3). Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami). (4). Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku. 5. Ibu memiliki kekuasaan lebih besar dalam suku ketimbang seorang Bapak. (6). Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu ditandai dengan suami mengunjungi rumah istrinya. (7). Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Dari cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa perempuan dalam sistem Matriineal mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menunjukkan pendapatnya, menentukan keputusan dan pastinya adalah eksistensinya sebagai seorang individu perempuan bukan sebagai bagian dari kelaki-lakian seperti dalam patriarkhi
Local Wisdom dalam Ajang Miss World 2013
Generasi kreatif Indonesia tidak tutup mata dengan symbol-simbol itu. Terbukti dengan dimuculkannya symbol-simbol feminitas dalam bentuk kearifan local Indonesia dalam Pemilihan Miss World 2013. Dalam opening final yang dihelat Sabtu malam, 28 september 2013 di Nusa Dua, Bali, Tari Api Sinta membakar perhatian para penonton. Dalam tarian yang dicitakan oleh Ibu Liliana Tanoyo Soedibyo ini, tiga simbol perempuan yang cukup kuat dimunculkan. Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, Srikandhi dan Sinta lambang kesetiaan. Ketiga dewi ini merupakan mitos yang ada dalam kebudayaan tua di Indonesia jauh sebelum sistem Matrilineal di daerah Sumatra mengakar. 
Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda) adalah dewi padi dan sawah dewi pembawa rejeki serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan pada Dewi Sri ini sudah berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa. Dewi Sri ini bisa dikatakan sebagai salah satu Mother earth nusantara seperti yang dikatakan dalam narasi tarian Api Sinta ini. Sedangkan Srikandhi merupakan salah satu karakter perempuan dalam pewayangan Jawa. Dalam pewayangan Jawa dikisahkan Dewi Srikandi memiliki kegemarana dalam bidang olah keprajuritan yang idtandai dengan kemampuannya yang mahir dalam menggunakan panah. Dewi Srikandi menjadi suri teladan prajurit wanita. Ia memiliki peran yang besar dalam keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam salah satu kisahnya, Dewi Srikandi tampil dalam perang  Bharatayuddha, sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, salah satu ksatria yang kemudian gugur dalam perang tersebut. Dalam kisah ini, Bisma mampu dikalahkan dengan panah Hrusangkali milik Dewi Srikandi. Karakter Dewi ketiga yang dimunculkan dalam tarian ini adalah Dewi Sinta, yang menjadi judul tarian. Dewi Sinta merupakan istri dari Rama dalam kisah Ramayana. Dalam kisah Ramayana yang hingga kini masih dilestarikan di prambanan dengan pementasan sendra tari, Sinta digambarkan sebagai istri setia Rama yang kemudian menjadi simbol keperempuanan.
Tidak berhenti di tarian saja, simbol feminisitas yang dihadirkan dengan menggunakan kearifan lokal adalah singgasana Miss World 2013 yang terbuat dari ukiran kayujati dengan berata 60 kg dan tinggi 1,60 meter.  Seperti yang dilansir Okezone kepada AA. Gede Adi Semara, pengrajin di Bali, Singgasana ini tidak dibuat sembarangan asal cantik saja tetapi memeiliki simbol dan makna-makna tertentu. Tentu saja lagi-lagi simbol-simbol tersebut tidak jauh-jauh dari feminitas seperti ukiran-ukiran yang dibuat terdiri dari simbol bunga,rantai, dan angsa. Bunga tentu saja simbol keperempuanan yang sering digunakan untuk menunjukkan kecantikan perempuan. Rantai bias dikatakan pengait sehingga apa-apa yang dicapai akan berkesinambungan,speerti kemakmuran yang berkesnambungan. Angsa menurut pengrajinnya merupakan kendaraan Dewi Saraswati yang merupakan Dewi Ilmu Pengetahuan dalam kepercayaan umat Hindu Di Bali. 

pict taken from  : encrypted-tbn3.gstatic.com
Apakah Indonesia sepenuhnya penganut Patrilineal dan masih terbelakang dalam semangat jaman yang begitu mengedepankan hak-hak perempuan? Masihkah pertanyaan itu dipertanyakan setelah simbol-simbol feminitas yang sudah ada jauh sebelum feminism lahir sudah ada dalam nila-nilai budaya Indonesia? masihkah kita merasa tertinggal dengan pemikiran-pemikiran negara maju karena kita masih tertinggal pembangunan ekonominya?
Biarkan pertanyaan-pertanyaan ini menggema dalam ruang-ruang pikir yang sudah lama terbalut dalam kemegahan pemikiran barat yang perlahan namun pasti telah mengikis nilai-nilai budaya negeri yang jelas lebih tinggi dan lebih tua ada di dunia. 

Penulis adalah aktivis perempuan di Yogyakarta

No comments:

Post a Comment